Di
kost tempat saya tinggal dijaga oleh seorang wanita yang tidak muda lagi namun
belum terlalu tua juga.
Sebut
saja Mbak S.
Mbak
S membawa anaknya yang duduk dibangku playgroup
berumur sekitar 3-4 tahun yang bernama W.
Mbak
S ini baik dan rajin. Sebagai penjaga kost, beliau memperhatikan kost dengan
baik termasuk melayani penghuni dengan sangat baik.
Walau
saya pernah jengkel padanya karena tidak membukakan pintu ketika pulang terlalu
malam.
W,
anak dari Mbak S, adalah anak yang cerewet dan lucu. Tapi pendiam kalau di
sekolah menurut Mbak S.
Beberapa
kali saya berbincang-bincang dengan Mbak S ketika saya mencuci pakaian dan Mbak
S juga sedang mencuci dilantai 3.
Suatu
ketika, Mbak S bercerita pada saya bahwa di televisi ada berita seorang Ibu
membuang bayinya ke sawah (atau sungai, saya tidak begitu ingat tempatnya)
karena lelaki yang menghamilinya tidak bertanggungjawab. Mbak S bilang kok bisa ada Ibu yang jahat seperti itu.
Lalu Mbak S berkata lagi “Kayak papanya W enggak
mau bertanggungjawab ya enggak
apa-apa. Saya besarin aja sendiri. Nanti
kalau sudah besar W bantuin mama kan ya?!” Sambil menoleh kepada anaknya.
Dari
obrolan tersebut saya menangkap bahwa ayah dari W tidak bertanggungjawab
terhadap W. Dari obrolan yang lain, Mbak S bercerita bahwa beliau dulu menikah
dan W punya kakak.
Namun
saya tidak memahami apakah W dan kakaknya memiliki ayah yang sama atau tidak.
Saya
rasa itu tidak penting untuk saya ketahui.
Yang
menarik perhatian dan menyentuh saya adalah perkataan Mbak S tadi.
Betapa
hebat dan kuat wanita satu ini.
Saya
tidak membayangkan bagaimana ketika beliau pulang ke kampungnya dan melahirkan
disana lalu menghadapi gunjingan orang-orang di kampung.
Mbak
S hanya bercerita bahwa beliau melahirkan di kampung. Mengenai gunjingan
orang-orang hanyalah bayangan saya saja.
Bayangan
ini saya dasarkan pada kondisi masyarakat kita yang memang demikian. Selalu berkomentar.
Termasuk saya juga suka berkomentar ketika ada nilai yang orang lain anut tidak
sesuai dengan nilai yang saya anut.
Saya
sedang membaca dan tersihir oleh pesona pemikiran Ayu Utami dalam bukunya
Pengakuan Eks Parasit Lajang.
Ada
satu kalimat yang sangat saya setujui “pada suatu titik, manusia adalah korban
dari nilai-nilai yang dianut masyarakat (dan dianut mereka sendiri juga)”
Jika
benar bahwa ada yang menggunjingkan Mbak S, maka Mbak S adalah korban dari
nilai-nilai yang dianut masyarakat.
Nilai
bahwa ketika wanita dihamili lalu si lelaki tidak bertanggungjawab maka itu
adalah suatu kekejian.
Ada
banyak wanita diluar sana bernasib demikian.
Ketika
si lelaki tidak bertanggungjawab lalu meninggalkan sang perempuan namun sang
perempuan memilih untuk tidak melakukan aborsi dan tetap melahirkan lalu
membesarkan dengan penuh kasih sayang itu hebat dimata saya.
Kita
tidak berhak untuk men-judge bahwa
mereka buruk. Terlepas dari benar atau salah kelakuan tersebut pada
kenyataannya karena setiap cerita mempunyai dua sisi.
Mbak
S telah memperjuangkan keadilannya dengan cintakasih sebagai dasar. Sebagaimana
sistem yang dibentuk oleh AU.
Cintakasih
pada W membuatnya memilih untuk membesarkan W dengan harapan dimasa depan W
akan membantunya menjalani dan mempertahankan hidup ini.
Sungguh
wanita yang tangguh, bukan?
Esti
Tanaem
Yogyakarta,
23 Januari 2014
Halo Mbak Esti.... Salam kenal..
ReplyDeleteSaya Meike, mahasiswa S2 komunikasi UGM. Saya sedang melakukan penelitian ttg novel Pengakuan Eks Parasit Lajang karya Ayu Utami. Jika Mbak tidak keberatan, saya ingin ngobrol dengan mbak Esti terkait novel tsb. Apakah saya boleh meminta kontak atau emailnya? Terima kasih