Delapan
jam pertama dihari ini diwarnai dengan tiga cerita beda rasa.
Jengkel,
pilu, prihatin.
Lima
menit setelah tiba di kampus, ketua kelas memberitahu bahwa kelas jam 7.30 itu ditunda.
Dosen mengirim sms padanya pukul 06.00 dan karena sang ketua kelas tidak
terbiasa melihat hp waktu bangun tidur maka tidak ada pemberitahuan ke
teman-teman termasuk saya. Saya jengkel.
Sambil
berjengkelria, saya membuka Path dan melihat posting-an tentang cerita Wulan Guritno yang bertemu dengan mama
sang anak korban pelecehan seksual di JIS. Membaca ceritanya memilukan hati.
Lalu
teman lain di Path yang sedang hamil memberi komentar tentang kisah seseorang
yang marah karena seorang wanita hamil meminta tempat duduknya di kereta dengan
alasan dia (yang marah) saja jika ingin dapat tempat duduk datang lebih pagi. Masa’ wanita hamil tersebut tidak bisa
demikian? Saya prihatin seperti kebiasaan Presiden kita.
Karena
kelas ditunda maka saya pulang dan melanjutkan tidur yang belum genap 8 jam
tadi malam ditambah dysmenorrhea yang
menyiksa.
Saya
bangun dengan tubuh segar, perut lapar. Saya bersiap untuk kuliah dengan
semangat karena sorenya ada ibadah Kamis Putih.
Selesai
kuliah jam 17.30, saya berjalan secepat mungkin ke kost lalu mandi dengan
kecepatan cahaya.
Ibadah
pukul 18.00. Saya terlambat 10 menit.
Hari
ini adalah Kamis Putih. Malam Getsemani, malam ketika Tuhan Yesus ditangkap.
Selesai
khotbah tentang memikul salib, ada prosesi membasuh kaki.
Prosesi
ini adalah untuk mengingat ketika Tuhan Yesus membasuh kaki murid-muridnya
sebelum Ia disalibkan.
Dimulai
dengan pendeta membasuh kaki jemaat yang ingin mengambil bagian dalam prosesi
ini.
Setelah
itu bergantian, yang sudah dibasuh kakinya, membasuh kaki jemaat lain.
Membasuh
dilakukan dengan meletakkan kaki pada sebuah tempat berisi air, dibasuh lalu
dikeringkan dengan selembar kain oleh orang yang telah dibasuh dahulu.
Karena
datang terlambat, saya tidak duduk diruang kebaktian utama.
Diruangan
saya duduk, hanya sedikit sekali yang mengambil bagian.
Awalnya
saya bimbang, namun saya pada akhirnya maju dan kaki saya dibasuh.
FYI, prosesi ini
dilakukan oleh wanita kepada wanita, pria kepada pria.
Setelah
kaki saya dibasuh, saya berdiri menunggu wanita lain yang ingin mengikuti
prosesi ini.
Saya
sedikit deg-degan siapakah yang akan
saya basuh kakinya?
Well, ini kaki. Bagian
tubuh yang sudah pakai sepatu pun masih bisa kotor dan bau.
Pada
momen ini saya mulai menyadari sesuatu.
Karena
tidak ada yang bersedia, maka saya pun duduk tanpa membasuh kaki orang lain.
Setelah
duduk, apa yang disadari tadi semakin saya rasakan kebenarannya.
Membasuh
kaki saja tidak semua orang mau melakukannya, apalagi disalibkan untuk menebus
dosa manusia?
Saya
yang bersedia saja masih berpikir sebelum maju, ketika menunggu orang lain yang
akan saya basuh saja saya khawatir akan orang siapakah yang kakinya akan saya
basuh.
Apa
yang saya semakin sadari kebenarannya adalah bahwa memang tidak ada kasih yang
lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk
sahabat-sahabatnya.
How great thou
art!
Selamat
menyambut Jumat agung.
Esti
Tanaem
Yogyakarta,
17 April 2014
Comments
Post a Comment