Setelah
membeli Bumi Manusia, buku pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta
Toer, empat bulan yang lalu akhirnya saya selesai membacanya malam kemarin.
Butuh
waktu yang lama karena ke(sok)sibukan saya misalnya menonton, mengerjakan
tugas, membaca materi kuliah dan lain-lain.
Pada
awalnya saya mengalami sedikit kesusahan dalam memahami novel tahun 1980an ini karena
bahasa Indonesia yang jadul tapi lama kelamaan makin terbiasa.
Cerita
ini sangat menarik dan pada akhirnya sungguh membuat penasaran untuk segera melanjutkan
ke buku berikutnya.
Ada
seorang tokoh yang sangat saya kagumi yaitu Nyai Ontosoroh yang adalah istri
simpanan seorang Belanda bernama Tuan Mellema. Dari hubungan itu, mereka
mempunyai dua orang anak yaitu Robert Mellema dan Annelies Mellema.
Nyai
Ontosoroh ini diceritakan sebagai wanita yang sangat mandiri, berkeinginan kuat
untuk mengetahui sesuatu, selalu mau belajar dan rajin membaca. Beliau adalah
contoh wanita kuat, berani, tegar dan berprinsip di tahun 1980an bagi saya.
Pada
umumnya seorang nyai, panggilan dari pribumi untuk selir atau simpanan orang
Belanda pada masa itu, tidak seperti beliau. Para nyai biasanya menempatkan
diri mereka dibawah dan menjadi rendah diri karena status itu.
Tidak
dengan Nyai Ontosoroh yang tetap mengakui bahwa dirinya adalah seorang nyai tapi
tetap mau belajar dan bahkan melanjutkan usaha dari Tuan Mellema ketika
mengalami gangguan jiwa hingga akhirnya meninggal dunia.
Berbeda
dengan anaknya Annelies Mellema yang hidup sangat bergantung pada mamanya juga
Minke ketika mengenal, jatuh cinta padanya hingga menikah.
Annelies
digambarkan sebagai perempuan yang sangat cantik bahwasanya semua indah namun
yang terindah tetap Annelies. Demikian gambaran Pramoedya.
Namun,
Ia hidup dalam ketakutan. Ini adalah suatu kesia-siaan yang mana digambarkan
Pramoedya dalam kalimat “Tetapi kecantikan, bahkan hidup sendiri menjadi
sia-sia bila dikuasai ketakutan.”
Benar
sekali, bukan?
Ini
yang membuat saya sangat mengagumi sosok Nyai Ontosoroh.
Perempuan
harus bersikap seperti beliau.
Termasuk
saya.
Esti
Tanaem
Yogyakarta,
28 April 2014
Comments
Post a Comment