Skip to main content

Orang (yang) Sulit

Empat hari terakhir ini saya mengikuti pelatihan Stimulasi, Deteksi, dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak (SDIDTK) yang diadakan oleh NGO tempat saya bekerja bekerja sama dengan mitra kami.
Teori-teori dalam pelatihan ini sungguh menarik dan bermanfaat yang membuat saya sadar bahwa menjadi orang tua itu butuh kesiapan karena membesarkan anak tidak bisa disepelehkan.
Semua orang tua yang membesarkan anak dengan versi terbaik mereka itu luar biasa.
Hari ini, dihari terakhir pelatihan, kami melakukan praktek disalah satu Polindes di desa layanan.
Saya sekelompok dengan 2 orang tenaga kesehatan.
Kami mendeteksi tumbuh dan kembang 2 orang anak berusia 4 bulan, sebut saja L dan anak berusia 4 tahun, sebut saja T.
L berusia 4 bulan sehingga semua tahapan deteksi dibantu dan dijawab oleh ibu-nya yang terlihat masih sangat muda.
L sangat koperatif, tidak menangis, walau digendong oleh ibu bidan (saya belum berani menggendong bayi) lalu ditidurkan telungkup dan telentang sebagai salah satu bagian dari deteksi.
Hasil deteksi kami menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan L sesuai dengan umurnya.
Kami memberi konseling kepada Ibu L agar selalu melakukan stimulasi pada L, tetap rajin ke posyandu dan melakukan deteksi setiap 3 bulan sekali.
Deteksi tumbuh dan kembang L berjalan dengan sangat lancar.
Sikap kontradiktif ditunjukkan oleh T. Kami membutuhkan waktu yang lama ketika mendeteksi T karena selain anak seusia T membutuhkan lebih banyak aspek yang dites, T juga tidak koperatif.
Ketika diminta untuk menggambar, T menolak karena asyik bermain boneka. Beberapa saat kemudian setelah kami rayu barulah T mau menggambar.
Setelah itu, T kami minta untuk melompat tapi T menolak dan memilih untuk terus menggambar.
Akhirnya kami tidak melakukan beberapa tes karena T menolak dan kami menggali saja dari nenek yang selama ini mengasuh T.
Ketika Tes Daya Lihat, kami sudah kewalahan. Kami minta tolong pada fasilitator yang melatih kami (seorang laki-laki) dan T langsung menurut.
Dari hasil deteksi ini, pertumbuhan dan perkembangan T normal namun membutuhkan kesabaran dalam melakukan deteksi karena T tidak terbiasa dengan orang baru. Sebenarnya T bisa melakukan tahapan tes karena sebagian besar merupakan apa yang T lakukan sehari-hari di rumah namun ketika berhadapan dengan orang baru, T membutuhkan waktu yang lama untuk beradaptasi.
Kami memberikan konseling kepada Nenek T agar T disekolahkan atau lebih banyak diajak untuk menemui orang baru agar T lebih mudah untuk bersosialisasi dan agar T tetap rajin posyandu dan melakukan deteksi setiap 6 bulan sekali.
Menurut sang Nenek, Ibu dari T (26 tahun) bekerja sambil kuliah di Maumere sedangkan Ayah-nya bekerja di luar kota sejak T berusia 1 tahun. Selama ini Ayah-nya belum pernah pulang sedangkan Ibu T pulang 3-4 kali dalam seminggu.
Di rumahnya ada Om sebagai sosok Ayah dalam hidup T namun saya tidak menggali lebih dalam bagaimana interaksi T dan Om-nya. Kami menduga, T tidak mendapatkan figure ayah dalam Om-nya sehingga begitu cepat dekat dengan fasilitator laki-laki ketika Tes Daya Lihat.
Menurut Nenek, T memiliki teman bermain di sekitar rumah dan pergi ke gereja setiap hari minggu. Kami menduga, T agak susah bersosialisasi karena dalam kehidupan sehari-hari, T kurang banyak bertemu dengan orang lain selain Nenek dan teman-teman sekitar rumahnya. Mungkin juga T kehilangan sosok Ibu yang seharusnya bisa mengajarkan T banyak hal yang tidak dilakukan oleh Neneknya.
Ini tentu kesimpulan kami berdasarkan pengamatan kami. Untuk kesimpulan valid butuh penggalian dan pengamatan lebih dalam yang dikonsultasikan dengan ahli.
Cerita L dan T ini mengingatkan saya pada sebuah khotbah menarik di suatu Minggu pagi.
Bapak Pendeta melihat Simon Petrus dari sisi yang berbeda yaitu sebagai “orang yang sulit”.
Dihidup kita juga ada orang yang sulit, jika dikaitkan dengan cerita L dan T tadi, T adalah “orang yang sulit” itu: T tidak mudah untuk dideteksi.
Orang sulit itu bisa siapa saja. Rekan kerja, tetangga, saudara, orang tua, atasan, teman dan sebagainya.
Definisi sulit disini misalnya rekan kerja yang sulit diajak saling mendukung, tetangga yang tidak bisa toleransi, orang tua yang banyak menuntut, atasan yang tidak membangun, teman atau pasangan yang sulit dipahami dan sebagainya.
Inti dari khotbah itu adalah jika ada orang sulit dalam hidup kita maka kita harus membantu dia, bukan membiarkan atau bahkan meninggalkan dia.
Sama seperti T, ketika T sulit dideteksi, kami terus sabar dan berupaya agar T mau melakukan tahapan tes dan T pada akhirnya mau untuk melakukannya. Kami juga meminta tolong dari fasilitator dalam artian bahwa kami tidak menutup diri ketika ada kesulitan.
Dalam membantu orang yang sulit, dilakukan dengan mendoakan, menyadarkan, memberi nasihat, menerima dia, sabar menghadapi dia. Kita bantu agar dapat menghadapi kesulitan itu. Bukan membiarkan. Bukan meninggalkan.



Esti Tanaem
Maumere, 30 April 2016

Comments