Skip to main content

A Journey of Reflection to Waerebo

Waerebo, a Traditional Village in Manggarai-East Nusa Tenggara

Remember the breathtaking view after a tough journey

Perjalanan ke Waerebo adalah traveling yang tersulit bagi saya sejauh ini.
Saya sangat menyukai jalan kaki. Jalan kaki adalah olah raga bagi saya yang jarang melakukan bentuk olah raga lain.
Menurut saya, saya expert dalam hal jalan kaki karena bisa saya lakukan dalam waktu yang lama entah sendiri maupun bersama teman.
Ketika mencari tahu tentang perjalanan ke Waerebo, saya rasa saya bisa karena saya expert dalam berjalan kaki.
Ternyata saya salah.
Jalan kaki dijalan mendatar jauh berbeda dengan jalan kaki dijalan menanjak selama 3,5 jam!
Yep, I just knew it.
Diantara teman-teman seperjalanan, saya paling sering lelah dan minta beristirahat dan carrier saya dibawa oleh guide. Tapi pulangnya ketika jalan menurun saya membawa carrier saya sendiri dan saya bangga hehe.
Salah satu jobdesc saya ditempat saya bekerja adalah memfasilitasi refleksi bersama masyarakat dan mitra sehingga refleksi seakan sudah menjadi nama tengah saya.
Dalam perjalanan yang panjang dibawah rintik hujan, ditengah hutan, jurang dikanan/kiri, dan lintah yang masuk disepatu teman-teman saya kecuali sepatu saya, saya berefleksi.
Menaklukkan pikiran itu penting terutama pikiran bahwa saya tidak bisa.
Mirip dengan yang Paulo Coelho pernah bilang “The fear of suffering is worse than suffer itself
Seringkali merasa tidak bisa atau takut padahal belum dijalani.
Ketika dijalani pun jangan khawatir karena jika perjalanan mulai terasa berat, ada teman-teman yang selalu memberi semangat.
Saya pernah menulis diblog ini tentang perjalanan saya dan teman-teman ke Pulau Sempu “A fascinating holiday is also depend on the people you spend it with”. Mungkin solo trip akan memiliki cerita yang berbeda dengan ini.
Perjalanan ke Waerebo ini pun bersama dengan teman-teman yang menyenangkan dan guide lokal yang baik.
Lelah diperjalanan hilang seketika ketika saya melihat Waerebo bukan melalui foto.
Kami tiba disore hari ketika kabut mulai menyelimuti Mbaru Niang
Disambut dengan pembicaraan adat lalu secangkir Kopi Manggarai, kami pun beristirahat sejenak.
Kami menghabiskan satu malam di Mbaru Niang bersama beberapa pengunjung lain.
Pagi hari, kami kembali menikmati secangkir Kopi Manggarai bersama dengan pemandangan para Mama menumbuk kopi dengan lesung, anak-anak berlarian di halaman serta kabut yang datang dan pergi dengan cepat.
Setiap mengingat Waerebo, saya mengingat bagaimana saya menaklukkan pikiran saya.
I remember the breathtaking view after a tough journey.
Semua yang menyesakkan akan berlalu.
Saya hanya perlu terus berjalan dan percaya.


Esti Tanaem
Maumere, 31 Agustus 2016

Comments