Skip to main content

Cross the Sea to Hiri Island


Salah satu tugas selama magang dalam dua bulan terakhir ini adalah live in.
Live in bertujuan untuk lebih mengenal masyarakat serta belajar dari mereka.
Saya mendapat wilayah dampingan yang terletak di Pulau Hiri.
Sejujurnya, saya belum pernah mendengar Pulau Hiri sebelumnya. Pulau ini berjarak tempuh sekitar 20 menit dengan menggunakan perahu kayu atau speed boat.
Biayanya Rp. 5.000 untuk perahu kayu dan Rp. 10.000 untuk speed boat.
I was so excited to go there!
Perjalanan dimulai dengan menumpang perahu kayu setelah menunggu beberapa saat.
Saat itu cukup bergelombang sehingga perahu sangat miring dan menjadi sejajar dengan air laut yang sangat biru dihari itu.
Berasa naik kora-kora atau galleon dikehidupan nyata haha. Saya sedikit berdebar-debar walau menggunakan pelampung. Pada hari itu yang menggunakan pelampung hanya saya dengan seorang teman. Masyarakat belum menganggap pelampung itu perlu bahkan mereka menganggap laut dihari itu bukan (ber)gelombang tapi arus saja. Mereka sudah terbiasa.
Setibanya disana, saya dan beberapa teman naik ojek menuju rumah Pak Lurah Dorari Isa, tempat saya tinggal selama di Pulau Hiri.
Keluarga besar Pak Lurah sangat ramah, sama seperti Pulau itu. Pulau Hiri adalah pulau yang sangat ramah.
Saya live in dalam bulan puasa sehingga ketika buka puasa, saya biasa makan bersama keluarga besar. Menu setiap hari berupa ikan segar yang lezat. Kami makan sambil membicarakan banyak hal baik serius maupun candaan. I will always remember and miss this precious moment. Ibu lurah bahkan mengajak saya hingga tujuh kali untuk berlebaran bersama namun saya tidak bisa karena sudah harus kembali ke Ternate sebelum hari raya.
Sekilas mengenai Pulau Hiri, disana masih banyak keterbatasan. Kebutuhan dasar masyarakat belum terpenuhi dengan baik.
Listrik belum ada sama sekali ketika saya disana sehingga masyarakat menggunakan genset ketika malam dan tidak menggunakan listrik ketika siang hari. Penggunaan genset bisa lebih dari satu rumah. Disana sudah ada tiang dan kabel listrik serta sudah ada peresmian mesin pembangkit listrik namun belum digunakan hingga bulan Juli 2015 ini. Diminggu terakhir bulan puasa ini baru mulai dipasang dan kabarnya 10 rumah sudah bisa menggunakan listrik ketika Lebaran. Saya tidak lagi mengikuti kelanjutan informasi ini.
Air tawar sangat langka di Pulau Hiri. Kebutuhan sehari-hari menggunakan air dari sumur dan air hujan. Air dari sumur (dekat dengan laut sehingga berupa air asin) digunakan untuk mandi, mencuci dll sedangkan untuk memasak dan air minum menggunakan tampungan air hujan yang disaring. Rata-rata setiap rumah mempunyai bak tampungan ini. Sekarang ini sedang pemasangan pipa-pipa untuk mengalirkan air tawar ke rumah masyarakat yang berarti sebentar lagi pemenuhan kebutuhan air tawar akan segera membaik.
Ada puskesmas di Pulau Hiri yang berarti pelayanan kesehatan sudah cukup baik.
Transportasi umum di pulau yaitu ojek yang mana keterampilan mengendarai motor mereka luar biasa karena jalan yang menanjak dan sempit terutama di kelurahan tempat saya tinggal.
Terlepas dari keterbatasan yang ada, ada beberapa hal yang menarik perhatian saya.
Pada umumnya, masyarakat disana bersaudara! Bagaimana? Melalui pernikahan dengan sesama warga dalam satu kelurahan. Misalnya A dan B menikah padahal nenek A dan kakek B itu sepupu dst.
Masyarakat Pulau Hiri suka berbagi. Ketika ada yang melaut dan membawa ikan, ada bagian yang tidak dijual. Bagian itu dibawa pulang dan dibagi-bagi kepada tetangga. Ketika Pak Lurah mendapat 4 ekor ikan maka sampai di rumah tinggal 1 ekor ikan karena bagi-bagi ke orang yang beliau temui dijalan. Ini terjadi setiap hari pada berbagai komoditas dan masakan.
Keamanan disana baik dengan tingkat pencurian yang rendah mendekati tidak ada kasus.
Inilah alasan mengapa saya mengatakan pulau ini pulau yang ramah.
Pulau yang kaya akan sumber daya alam dengan masyarakat yang suka berbagi.
Cerita ini menjadi salah satu cerita membanggakan yang akan selalu saya kenang.


Esti Tanaem
Ternate, 16 Juli 2015

Comments